
Pendahuluan
Persoalan sampah di Indonesia telah menjadi tantangan yang semakin kompleks seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan urbanisasi, serta perubahan pola konsumsi masyarakat. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2022, Indonesia menghasilkan lebih dari 18 juta ton sampah per tahun. Kabupaten Lamongan sendiri, sebagai bagian dari wilayah Provinsi Jawa Timur, menyumbang produksi sampah harian sekitar 228,06 ton, atau setara dengan lebih dari 83.000 ton per tahun. Angka ini mencerminkan besarnya beban lingkungan yang harus ditanggung, terutama di wilayah-wilayah yang belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang terpadu dan berkelanjutan.
Kecamatan Deket, yang berada di bagian timur Kabupaten Lamongan, merupakan salah satu kawasan dengan karakteristik wilayah campuran antara pedesaan agraris dan kawasan pesisir produktif. Di kecamatan ini, aktivitas ekonomi masyarakat umumnya didominasi oleh pertanian, perikanan tambak, perdagangan, dan rumah tangga. Akibatnya, jenis sampah yang dihasilkan cukup beragam, mulai dari sampah organik sisa pertanian dan rumah tangga, hingga limbah anorganik berupa plastik, karet, dan logam dari kegiatan perdagangan. Sayangnya, hingga saat ini belum tersedia fasilitas Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di tingkat kecamatan, dan jumlah Tempat Pembuangan Sementara (TPS) juga sangat terbatas. Hal ini berkontribusi pada munculnya kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah ke sembarang tempat, seperti sungai, saluran irigasi, atau membakarnya secara terbuka.
Pola pembuangan sampah yang belum terkonsolidasi dalam sistem yang terorganisasi dan terkontrol menyebabkan berbagai bentuk pencemaran lingkungan. Sampah yang menumpuk di lahan terbuka meresap ke dalam tanah, mencemari air tanah, dan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan sekitar. Pembakaran sampah tanpa teknologi pengendali emisi turut menyumbang polusi udara yang mengandung zat-zat berbahaya seperti karbon monoksida (CO), dioksin, dan partikel halus (PM2.5), yang berpotensi menimbulkan gangguan pernapasan. Di sisi lain, tumpukan sampah di area perairan dapat menyebabkan penyumbatan saluran drainase, peningkatan risiko banjir saat musim hujan, dan terganggunya ekosistem air yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga.
Permasalahan ini bukan semata-mata bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Kurangnya edukasi mengenai pentingnya pemilahan sampah, minimnya insentif ekonomi dari daur ulang, serta tidak adanya sistem insentif dan pengawasan dari pemerintah desa hingga kabupaten menjadi faktor-faktor yang memperparah situasi. Kecenderungan masyarakat untuk mengandalkan solusi praktis dan jangka pendek seperti membakar atau membuang sampah ke sungai justru berujung pada akumulasi masalah jangka panjang yang lebih berat dan sistemik.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan dan urgensi penanganan yang holistik, maka perlu dilakukan analisis yang lebih mendalam terhadap kondisi aktual pengelolaan sampah di Kecamatan Deket. Kajian ini harus mencakup pemetaan kondisi eksisting, identifikasi permasalahan mendasar, serta eksplorasi solusi berbasis komunitas yang adaptif terhadap konteks lokal. Pendekatan partisipatif dan kolaboratif dengan melibatkan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga pendidikan menjadi kunci untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat di wilayah pesisir ini.
- Karakteristik Produksi dan Alur Pengelolaan Sampah
Di Kecamatan Deket, dominasi produksi sampah berasal dari dua sektor: domestik dan pertanian. Rumah tangga menyumbang sebagian besar sampah anorganik—seperti plastik sekali pakai, kemasan makanan, dan kertas—sementara aktivitas pertanian menyumbang sampah organik berupa limbah sayur, dedaunan, dan jerami. Meskipun volume total sampah harian Kabupaten Lamongan mencapai 420 ton per hari baru tersedia 18 titik TPS—jumlah yang jauh dari proporsional terhadap kebutuhan kebutuhan wilayah sekitar 1,4 juta jiwa . Ketimpangan ini memaksa masyarakat melakukan open dumping—buang sampah ke area terbuka, sungai, atau membakarnya sendiri.
Padahal, sampah organik memiliki potensi diolah menjadi kompos melalui proses mikrobiologis, sementara sampah anorganik—jika dipilah sejak sumber—berpeluang didaur ulang dalam silnik ekonomi pengurangan limbah. Kurangnya TPS (dan masih belum tersedia TPST di Deket) menyebabkan gagal pemilahan awal, sehingga rantai pengelolaan dan nilai tambah sampah tersebut terputus sejak hulu.
- Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Praktik pengelolaan sampah tradisional seperti penimbunan sembarangan (open dumping) dan pembakaran sporadis sejak lama menjadi sumber ancaman ekologis dan kesehatan:
- Kontaminasi tanah dan air: Sampah yang tertimbun liat memicu infiltrasi senyawa organik dan anorganik ke dalam tanah dan air tanah, meningkatkan keasaman, memperkaya logam berat, dan mengganggu kualitas air permukaan dan sumur warga .
- Polusi udara yang merusak: Pembakaran sampah menghasilkan emisi gas rumah kaca (CO₂, NOₓ dan N₂O), serta partikulat PM₂.₅. Dampaknya berlipat: berkontribusi pada perubahan iklim dan langsung membahayakan kesehatan pernapasan warga sekitar.
- Risiko kesehatan infeksi menular: Mikroba patogen dari sampah terkelola memburuk meningkatkan potensi penularan diare, tetanus, infeksi saluran pernapasan akut, terutama pada anak-anak dan lanjut usia.
Ketiadaan sistem pemrosesan terpadu (TPST) di Deket memperkuat risiko ini, karena bahan sampah tidak melewati pemisahan maupun proses sanitasi.
- Keterbatasan Infrastruktur dan Sistem Pengelolaan
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Lamongan, hanya berjumlah 18 TPS—termasuk empat di pusat kota—yang jelas masih jauh dari memadai untuk volume limbah tahunan Kabupaten Lamongan. Deket belum memiliki unit TPST skala kecamatan, sehingga seluruh sampah—baik organik maupun anorganik—dibawa langsung ke TPA Tambakrigadung. Akibatnya, pemisahan dan sanitasi awal tidak berjalan, memperbesar beban TPA dan melemahkan peluang bisnis berbasis bahan sisa Bernilai.
Sebaliknya, TPST “Samtaku” di pusat kota menjadi contoh pengurangan debit sampah hingga 70–80%—dari 50–60 ton per hari menjadi sekitar 6–10 ton residu. Ini menunjukkan infrastruktur terpadu jauh lebih efektif daripada TPS terpisah.
- Kondisi Sosial dan Persepsi Masyarakat
Tantangan kesadaran masyarakat di Deket masih tinggi. Muncul inisiatif lokal seperti Desa Sidorejo yang menerapkan skema iuran sampah tunai yang dialihkan ke premi BPJS, memupuk partisipasi aktif Namun, praktik dualisme sistem—antara yang formal (TPS desa) dan informal (gerobak motor swasta)—menimbulkan beban biaya tidak merata, terutama untuk sampah jenis berat atau voluminus.
Disparitas ini tercermin dari catatan Dewan bahwa “persoalan sampah darurat” masih terjadi pada 420 ton per hari, dan bahwa pengusulan TPS desa merupakan solusi jangka pendek yang mendesak. Selain itu, fenomena buang sampah sembarangan—ke sungai, saluran air—memicu penyumbatan drainase, banjir lokal, dan bahkan konflik antarkomunitas.
- Inovasi dan Program Pengelolaan
Kabupaten Lamongan telah meluncurkan berbagai inovasi:
- TPST Samtaku: Diresmikan oleh Danone‑AQUA dan Pemkab Lamongan, mampu mengurangi 65–70% sampah masuk ke TPA, mengolah kap. 60 ton/hari, menyediakan wahana edukasi, dan menerapkan teknologi RDF dan pemilahan hingga 95%
- Penerapan sistem 3R di TPS‑TPS desa, yang mengelola kurang lebih 400 ton/bulan dan mencapai 17% tingkat daur ulang
- Bank sampah tingkat RT/RW: Lebih 1.000 unit operasional di seluruh kabupaten, meningkatkan kesadaran masyarakat dan memberdayakan ekonomi lokal melalui hasil penjualan bahan daur ulang .
- Tantangan Strategis
Dari berbagai aspek, berikut rangkumannya:
Aspek |
Tantangan |
Infrastruktur |
Deket belum memiliki TPST, terlalu bergantung pada TPA pusat. |
Perilaku masyarakat |
Pembiasaan buang sampah sembarangan masih tinggi; iuran sporadis tidak merata. |
Sumber daya & anggaran |
SDM operasional terbatas; beban pembiayaan terkadang diambil RT/RW. |
Pemisahan di sumber |
Praktik pemilahan masih dispensasional; hasil pemilahan sering tercampur saat transportasi. |
Kesimpulan dan Rekomendasi
Permasalahan sampah di Kecamatan Deket mencerminkan kompleksitas multidimensional—menggabungkan limitado infrastruktur TPST, kebiasaan masyarakat, beban tingkat kabupaten, dan ketidakseimbangan biaya pengelolaan. Data menunjukkan bahwa inovasi seperti TPST berstandar Samtaku mampu menurunkan debit sampah sampai 70–80%, dan bank sampah komunitas mencapai partisipasi >1.000 kelompok lokal.
Rekomendasi strategis:
-
Membangun TPST Lokal di Deket untuk peningkatan pengelolaan sampah skala kecamatan.
-
Edukasi dan Kampanye Pemilahan di Sumber melalui pelatihan RT/RW dan sekolah.
-
Skema Iuran Terstruktur mirip Desa Sidorejo yang memanfaatkan sampah sebagai premi sosial.
-
Pemberdayaan Bank Sampah bersertifikasi dengan dukungan pemerintah kabupaten.
-
Kolaborasi Teknologi dan Ekonomi: adopsi model smart bin seperti yang diriset (misalnya solar-powered bin) dan kemitraan dengan IKM lokal untuk daur ulang.
Jika dijalankan, integrasi ini akan secara signifikan mengurangi risiko pencemaran dan meningkatkan kondisi lingkungan kehidupan warga Deket. Dukungan regulasi dan insentif dari Pemkab Lamongan sangat krusial untuk menyukseskan transformasi pengelolaan sampah ini.
Eko Sutrisno
Dosen Program Studi Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Islam Mojokerto

.jpeg)